Mekanisme Perhitungan Pajak
Penghasilan Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Bentuk
Badan dapat berupa Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV),
perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan
bentuk badan lainnya.
Objek Pajak Penghasilan adalah penghasilan, yaitu setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
Namun demikian, terdapat beberapa jenis penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan, di antaranya adalah:
- * Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan lainnya yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
* harta hibahan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
- warisan;
- harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
- penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, apabila diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak tertentu akan menjadi Penghasilan); dan
- Penghasilan lain sebagaimana tertera dalam Undang-undang Pajak Penghasilan.
- Langkah-langkah untuk mendapatkan besaran Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut:
- Pertama,hitung seluruh Penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan penghasilan yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat Final.
- Kedua, kurangkan biaya-biaya yangmeliputi seluruh biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: biaya pembelian bahan; biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa (gaji, tunjangan dsb), biaya bunga, biaya sewa, royalty, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya promosi dan penjualan, biaya administrasi. Jangan lupa untuk mengurangkan biaya penyusutan dan amortisasi.
- Ketiga,perhatikan biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan sebagaimana di atur dalam perundangan perpajakan beserta aturan turunannya. Keluarkan biaya-biaya tersebut dalam penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
- Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya didapat kerugian sehingga tidak terdapat Penghasilan Kena Pajak, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
- Tarif pajak penghasilan Badan untuk tahun pajak 2019 ke bawah adalah sebesar 25% dari penghasilan kena pajak (20%, bila wajib pajak adalah perusahaan yang Go Public).
- Untuk tahun pajak 2020, tarif pajak penghasilan badan turun menjadi 22%, dan turun lagi menjadi 20% untuk tahun pajak 2022.
- Wajib pajak Badan yang berbentuk perseroan terbuka dapat menggunakan tarif lebih rendah 3% apabila jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia paling sedikit 40% dan memenuhi kriteria tertentu, menjadi 19% untuk tahun pajak 2020 dan 17% untuk tahun pajak 2021.
Setelah diperoleh angka
Penghasilan Kena Pajak dan Pajak terhutang, langkah berikutnya adalah
mengurangkan Pajak Penghasilan dengan kredit pajak.
Kredit Pajak untuk wajib pajak badan meliputi: pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha tertentu yang biasa disebut sebagai Pajak Penghasilan Pasal 22 dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu yang biasa disebut sebagai Pajak Penghasilan Pasal 23. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri yang biasa disebut sebagai Pajak Penghasilan Pasal 25. Hasil dari pengurangan tersebut adalah pajak penghasilan yang masih harus dibayar sendiri.
Setelah mengetahui konsep di atas, mari kita lihat ilustrasi berikut.
Perusahaan PT. JOIN SOL diketahui memiliki
data penghasilan tahun 2020 sebagaimana berikut:
1. Peredaran Bruto Rp10.000.000.000,00
2. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan bruto Rp8.000.000.000,00
3. Penghasilan lainnya Rp1.000.000.000,00
4. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya Rp700.000.000,00
5. Kompensasi kerugian dari tahun sebelumnya Rp1.000.000.000,00
6. Kredit PPh Pasal 25 Rp150.000.000,00
7. Kredit PPh Pasal 22 Rp70.000.000,00
8. Kredit PPh Pasal 23 Rp30.000.000,00
Maka, penghitungan pajak
penghasilan terutangnya adalah:
Peredaran Bruto (angka 1) Rp. 10.000.000.000,00
Dikurangi Biaya 3M Bruto (angka 2) (Rp. 8.000.000.000,00)
Penghasilan Neto Rp. 2.000.000.000,00
Ditambah Penghasilan Lainnya
(angka 3) Rp. 1.000.000.000,00
Dikurangi Biaya 3M Lainnya (angka 4) (Rp. 700.000.000,00)
Total Penghasilan Neto Rp. 2.300.000.000,00
Dikurangi Kompensasi Kerugian (angka
5) (Rp. 1.000.000.000,00)
Penghasilan Kena Pajak Rp. 1.300.000.000,00
Pajak penghasilan terutangnya
adalah sebesar:
Rp1.300.000.000,00 x 22% = Rp286.000.000,00
Sedangkan pajak yang masih harus
dibayar adalah sebesar:
Pajak penghasilan terutang Rp. 286.000.000,00
Dikurangi kredit PPh Pasal 22
(angka 7) (Rp. 70.000.000,00)
Dikurangi kredit PPh Pasal 23 (angka
8) (Rp. 30.000.000,00)
Dikurangi kredit PPh Pasal 25 (angka
6) (Rp. 150.000.000,00)
Pajak yang masih harus
dibayar Rp. 36.000.000,00
Wajib Pajak badan dalam negeri
dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh
persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan
ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah).
Apabila menggunakan contoh
sebelumnya, dapat diilustrasikan sebagaimana berikut:
Penghitungan Pajak Penghasilan
yang terutang:
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
(Rp. 4.800.000.000,00 : Rp. 10.000.000.000,00)
x Rp. 1.300.000.000,00 = Rp. 624.000.000,00
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas
Rp. 1.300.000.000,00 – Rp. 624.000.000,00 =
Rp 676.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50% x 22%) x Rp. 624.000.000,00 = Rp. 68.640.000,00
- 22% x Rp. 676.000.000,00 = Rp. 148.720.000,00 (+)
Total Pajak Penghasilan yang
terutang Rp. 217.360.000,00
Pajak yang masih harus
dibayar menjadi:
Pajak penghasilan terutang Rp. 217.360.000,00
Dikurangi kredit PPh Pasal 22 (Rp. 70.000.000,00)
Dikurangi kredit PPh Pasal 23 (Rp. 30.000.000,00)
Dikurangi kredit PPh Pasal 25 (Rp. 150.000.000,00)
Pajak yang masih harus
dibayar (Rp. 32.640.000,00)
Pajak yang masih harus dibayar
tidak selamanya memiliki saldo. Saldo dapat bernilai nol, atau bernilai lebih
bayar (seperti contoh kasus di atas). Dalam hal pajak yang masih harus dibayar
memiliki saldo, maka wajib pajak wajib menyetorkan kekurangannya ke kas negara.
Namun, bilamana saldo bernilai lebih bayar, maka wajib pajak pun dapat
mengkompensasikannya ke periode pajak berikutnya, atau mengajukan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak (restitusi) ke Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib
pajak terdaftar.
Pembukuan adalah suatu proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan
menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode
Tahun Pajak tersebut.
Pembukuan harus diselenggarakan
di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang
Rupiah, dan disusun dalam Bahasa Indonesia atau menggunakan tata cara lainnya
yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
Pembukuan harus diselenggarakan
dengan cara sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang-undang perpajakan
menentukan lain.
Buku, catatan, dan dokumen, data
elektronik yang menjadi dasar pembukuan harus disimpan selama 10 (sepuluh)
tahun di Indonesia (sesuai dengan batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di
bidang perpajakan).